Ini bukan mimpi. Ini nyata yang terasa aneh!
Riris tidak pernah membayangkan dirinya bisa ada di sini. Di negeri dimana pelangi di lukis. Tapi Riris akui negeri ini sangatlah indah. Negeri yang 180 derajat berbeda dengan Bumi. Sayangnya semua warna yang ada di negeri ini mulai memudar.
Awalnya Riris kesulitan untuk beradaptasi, dia benar-benar buta dengan kondisi negeri itu. Untungnya Riris ditolong oleh Arabel, seorang pelukis pelangi yang ternyata adalah penanggung jawab atas terdamparnya Riris di negeri antah berantah itu.
Dan Riris ‘diundang’ ke sana untuk membantu negeri yang sedang di ujung kehancuran itu: menjadi pelukis pelangi. Satu-satunya pelukis pelangi yang tersisa hanyalah Arabel seorang, yang lainnya sudah meninggal di tangan prajurit-prajurit Rasta, penyihir yang sangat berambisi untuk menghancurkan Negeri Iris dan menggantikan keindahan itu dengan kegelapan.
“Untuk apa Rasta mengisap warna-warna itu?” Tanya Riris penasaran.
“Jika warna itu habis maka keindahan juga ikut habis. Negeri ini disokong oleh keindahan dari warna-warna pelangi, atau yang kalian kenal dengan MEJIKUHIBINIU!”
“Kamu pernah bilang Negeri ini dan Bumi saling berhubungan kan?”
Arabel mengagguk pelan. “Ya. Keindahan di Bumi bersumber dari sini. Jika negeri ini hancur maka jauh lebih mudah untuk Rasta menguasai keduanya!”
Bumi dikuasai oleh penyihir seperti Rasta? Riris tidak bisa membayangkan hal itu terjadi. Riris harus melakukan sesuatu! Bukankah itu tujuannya dia bisa ada di sini? Meski dia agak shock juga pada awalnya.
Mendadak semangat Riris meletup-letup. “Apa yang akan kita lakukan sekarang?”
“Ini!” Arabel menyodorkan sebuah kuas bulu, Riris menerimanya dengan gugup. Semangatnya menguap dengan cepat.
Riris memandangi kuas yang serasa sangat ringan di tangannya. Riris memang sering melukis pelangi di atas kanvas. Pelangi adalah objek lukisan favorit Riris, tapi belum pernah sebelumnya dia melukis pelangi langsung di langit. Bahkan memimpikannya pun dia tidak pernah.
“Apakah aku bisa?” Tanya Riris ragu. Arabel yang sedang sibuk mengurusi cat-cat langsung menoleh.
“Tentu. Ini sama saja dengan melukis di atas kanvas seperti yang biasa kamu lakukan. Ayo kita mulai!”
Riris mengikuti Arabel yang sudah berjalan lebih dahulu menuju ke sebuah taman di tengah negeri yang sepi. Puing-puing bangunan berserakan di beberapa tempat. Riris mengamati sekeliling, mencari pintu penghubung antara bumi yang dulu menjadi jalannya hingga bisa sampai ke sini, tapi tak ada tanda-tanda sedikit pun bahwa pintu itu ada atau bahkan pernah ada. Yang ada hanyalah kabut-kabut tipis berwarna-warni yang sudah memudar di beberapa bagian, bahkan ada yang nyaris kehabisan warna. Memucat, seperti manusia yang kehabisan darah.
“Kemana Nathan pergi?” Tanya Riris lagi, terus mengekor di belakang Arabel, bagaimanapun dia tidak terlalu mengenal negeri ini.
Nathan adalah Rex (Raja) di negeri itu. Tahta itu terpaksa diembannya di umur yang sangat belia karena ayahnya meninggal saat perang besar terjadi setahun lalu.
Nathan dan Arabel sudah bersahabat sejak kecil, apalagi keduanya berasal dari keluarga bangsawan. Selama di negeri Iris mereka selalu bertiga, tak pernah terpisahkan sama sekali. Tapi pagi ini Nathan tidak ada dan itu menimbulkan pertanyaan di benak Riris.
“Nathan sedang ke danau Warna. Sepertinya danau Warna yang menjadi incaran Rasta sekarang. Air danau itu makin menipis saja! Kita bisa kehabisan cat pewarna untuk melukis pelangi jika danau itu sampai kering!”
Riris tidak bertanya apa-apa lagi. Dia sibuk dengan pikirannya sendiri, menuju ke Bumi. Tempat tinggalnya. Tempat Bunda, Jaci dan orang-orang yang disayanginya berada. Bagaimana jika dia tidak bisa kembali? bagaimana dengan Bunda?
“Prajurit-prajurit Rasta biasa dipimpin oleh Ken!” Suara bening Arabel berhasil memecahkan lamunan Riris!
“Siapa Ken?”
“Ken adalah putra Rasta. Dulu, sebelum peperangan pecah, aku, Nathan dan Ken adalah sahabat. Ibunya juga adalah seorang pelukis pelangi.” Riris terkesiap mendengar pernyataan Arabel.
“Tapi—”
“Hujan sebentar lagi akan reda. Ayo, kita harus segera memulai melukis pelangi.” Arabel memotong. Mereka harus segera memulai melukis karena hujan akan segera reda.
Riris tiba-tiba membayangkan betapa indahnya negeri ini saat masih damai dulu. Gumpalan awan, kabut tipis, serta danau yang berwarna-warni terformulasi dalam takaran warna yang pas satu sama lain. Kontras.
”Sering muncul prajurit Rasta jika hujan sedang turun di bumi. Jadi berhati-hatilah. Bersembunyilah di balik kabut yang warnanya belum terlalu pudar. Mereka tidak akan melihatmu. Mereka resisten terhadap warna cerah!” Riris mengangguk-angguk mendengar penjelasan Arabel meski sebenarnya dia masih ragu.
Bisakah dia melukis dengan baik? Dan bisakan dia menghindar dari prajurit Rasta yang terkenal amat sangat kejam itu? Bagaimana jika dia tidak bisa kembali ke Bumi? Bagaimana dengan Bunda?
“Tidak.. Tidak..” Riris menggeleng pelan, berusaha menghalau pikiran negatif yang mulai menghantui.
“Semua akan baik-baik saja!” Tegasnya dalam hati. Riris mulai meniti gumpalan-gumpalan awan berbentuk tangga menuju langit.
Dia mencelupkan kuasnya di cat berwarna merah. Dia memulai dengan warna favoritnya. Dengan ragu Riris menggoresnya kuasnya ke langit. Tapi tidak terjadi apa-apa. Riris mencoba lagi. Masih sama. Riris terus mencoba tapi tidak ada perubahan.
“Arabel, aku tidak bisa melakukannya!” Kata Riris putus asa. Suaranya terdengar sedih. Arabel datang menghampiri. Dia tersenyum tipis.
“Apa kau percaya bisa melakukannya?” Arabel menyentuh pelan bahu Riris, berusaha menyalurkan energi positif untuk sahabat barunya ini. Riris terdiam, mengulangi pertanyaan itu dalam hari. Percayakah dia?
“Dalam melukis pelangi, bukan hanya sekedar kuas dan cat saja yang dibutuhkan. Tapi juga kepercayaan. Apapun yang kamu lakukan, sesulit apapun itu, jika kamu percaya, maka sesuatu itu akan menjadi mudah. Aku percaya kamu bisa melakukannya, jadi kamu juga harus percaya pada dirimu sendiri!” Lanjut Arabel.
Riris menghela nafas panjang, “Ya. Aku pasti bisa. Ini juga untuk Bumi!” Tegas Riris, senyum tipis tersungging di bibirnya. Arabel ikut tersenyum. Tidak salah dia memilih Riris sebagai penolong.
***
Riris sudah menyelesaikan setengah dari pelangi itu saat dia merasakan temperatur udara tiba-tiba turun secara drastis, sama seperti saat pertama kali dia menginjakkan kaki di negeri ini dan prajurit Rasta menyerangnya, beruntung saat itu dia ditolong oleh Arabel.
Arabel. Dimana Arabel? Riris mulai mencari-cari. Saking bersemangatnya melukis Riris sampai tidak menyadari bahwa dia tidak bersama Arabel lagi. Riris meniti gumpalan awan dengan cepat, dia ingin segera menemukan Arabel dan pergi dari tempat itu.
Tapi terlambat, begitu Riris menginjakkan kakinya di tanah, dari kejauhan dia bisa melihat prajurit-prajurit Rasta semakin mendekat, semacam bayangan hitam yang terus menyerap warna dari sekitarnya. Dan anehnya tindakan itu malah membuat mereka semakin gelap dan warna disekitar semakin memudar.
Riris segera menghindar, dirapatkannya tubuhnya dibalik puing-puing bangunan. Riris menyentuh dadanya, merasakan detakan jantungnya yang semakin memburu. Bayangan-bayangan hitam itu semakin mendekat. Riris menyentuhkan ujung kuasnya ke arah kabut tipis yang ada di sebelah kirinya hingga semua cat yang menempel di kuas bulu itu habis. Perlahan kabut yang awalnya berwarna pucat kini menjadi merah darah, kabut itu pun menjadi perisainya.
Dalam jarak yang sangat dekat, Prajurit-prajurit Rasta tidak mampu menghisap warna itu karena pancaran sinar yang dihasilkan. Riris menghela nafas lega. Dia mengintip sebentar untuk memastikan bahwa bayangan hitam yang ternyata terlihat sangat menakutkan dalam jarak yang sangat dekat sudah menjauh.
Riris segera ingin melarikan diri dan menjauh dari situ. Dia mengambil rute yang berlawanan dengan sekumpulan prajurit tadi.
Tiba-tiba tubuhnya menubruk seseorang. Riris segera mendongak, untuk sepersekian detik dia terpana sampai akhirnya dia tersadar siapa sebenarnya orang yang mengenakan pakaian serba hitam ini.
“Akkrrggghhh..” tanpa sadar Riris malah berteriak dengan keras. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Cat di kuasnya sudah habis dan dia tidak punya persediaan.
Temperatur udara kembali menurun menandakan prajurit itu semakin mendekat. Tanpa Riris duga, orang yang tadi ditubruknya langsung mendekap mulut Riris dengan tangan dan merapatkan tubuhnya di dinding, menghimpit –melindungi—Riris dari pandangan prajurit-prajurit itu.
Riris merasa jantungnya serasa ingin melompat keluar. Tapi kali ini sepertinya bukan karena takut tapi karena posisi mereka, orang itu seperti merangkul Riris.
Prajurit Rasta mencari-cari asal suara itu, tapi tidak berhasil mereka temukan pada akhirnya. Salah satu prajurit lalu berbicara dengan bahasa yang Riris tidak mengerti sama sekali dan kemudian mereka menjauh.
Dekapan tangan di mulut Riris melonggar. Riris langsung melompat menjauh, mencipta jarak.
“Apa yang kau inginkan?” Sembur Riris. Orang itu tersenyum sinis.
“Begitukah caramu berterima kasih?” Riris tidak menjawab. Dia menggenggam kuas dengan sangat erat, berusaha menyalurkan ketegangannya.
Orang itu menatap Riris dengan tajam, dan juga –kalau Riris tidak salah lihat—khawatir?
“Riris?!” Riris langsung menoleh begitu mendangar namanya di panggil. Suara bening yang sangat familiar. Arabel. Orang yang berdiri di depan Riris langsung terkesiap.
“Well, kita pasti bertemu lagi!” Bisiknya di telinga kanan Riris sebelummenghilang. Riris terpaku.
“Kamu tidak apa-apa? Maaf aku meninggalkanmu!” Kata Arabel cemas. Riris menggeleng pelan.
“Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir!”
“Ayo kita segera pergi dari sini. Saat ini keadaan sedang tidak aman.” Arabel menuntun Riris pergi menjauh dari taman itu.
Riris tidak peduli dengan lingkungan sekitar lagi, bahkan suara Arabel terdengar hanya seperti desauan angin. Pikiran Riris sedang terfokus pada orang yang menolongnya tadi.
Ken.
Jika itu memang Ken, mengapa dia malah menyelamatkan Riris? Bukankah tujuan mereka untuk mengambil alih negeri ini dan menjadikannya negeri kegelapan? Riris tidak mengerti!
Banyak hal yang Riris tidak—belum—tahu memang. Termasuk perasaan aneh yang mulai menyelusup masuk saat Ken merangkulnya tadi.
“Mungkin Ken memang tidak sejahat itu!” Gumam Riris pelan!
***
*Merupakan bagian dari Antologi cerpen Pelangi
* Riris, Ken, Arabel, Nathan merupakan tokoh dalam novel Fantasi Iris karya penulis yang Sama
4 komentar:
ceritanya panjang ya :D
ya begitulah,biar feel nya dapet.hehehe
jadi ini bagian dari novel?
pengen tau cerita lengkapnyaaaa.... kayaknya tokoh ken bakal jadi favoritku deh.. hihi..
errr...
suka pelangi ya?
suka melukis juga kah?
Rencananya sih mau dibikin novel, tapi nggak selesai-selesai sampai sekarang. Hehehe
Posting Komentar