Kamis, 06 Februari 2014

LELAH

Diposting oleh sachakarina di Kamis, Februari 06, 2014 0 komentar
Saya pernah merasa lebih lelah dari saat ini: ketika Ian menikah bulan November lalu. Bersih-bersih, bebenahin barang, bantu-bantu, ngurus ini dan itu. Waktu itu punggungku rasanya udah kayak mau patah. Koyo udah jadi teman setia--meskipun sebenarnya nggak terlalu membantu. Sebagai tuan rumah, saya nggak boleh leyeh-leyeh aja dong, apalagi saya yang paling tahu kondisi rumah, barang ini ada di mana, barang itu ada di mana. Ada satu hari di mana saya menangis diam-diam lantaran merasa terlalu lelah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada yang melarang tidur siang, tapi saya merasa amat salah ketika melakukannya sedang orang lain sedang berakhir

Tapi saya tahu itu akan berakhir. Hanya tiga atau empat hari, setelah itu saya bisa beristirahat untuk memulihkan tenaga kembali. Membiarkan sakit punggung berkepanjangan berarti saya membiarkan diri saya diintai, paling tidak, demam. Emang ada orang yang mau demam? Hah.

Sayangnya, saya tidak tahu kelelahan ini, di sini, kapan berakhir. Saya hanya akan datang-kelelahan-kesepian-mengeluh-membenci-menderita.

Selasa, 04 Februari 2014

Should I?

Diposting oleh sachakarina di Selasa, Februari 04, 2014 0 komentar


Kenapa saya harus melakukan ini? Belakangan ini pertanyaan itu sering kali muncul.

Saya tidak menyukai ini, saya hanya berusaha mempertanggungjawabkan apa yang sudah saya pilih tapi lama kelamaan saya tahu bahwa ini salah. Saya selalu berusaha mencintai apapun yang saya kerjakan, tapi tidak berlaku dalam hal ini. Pertanyaan itu terus menghantui saya. Kenapa saya harus melakukan ini saat saya tidak merasa bahagia sama sekali? Saya malah merasa tertekan.

Saya berusaha bersabar, mungkin nanti saya bisa menyukainya. 

Saya seperti sebuah gunung merapi, yang pusat magmanya terus bergolak. Ada dua kemungkinan, dia akan terus berada di sana atau meledak keluar dan menghancurkan segalanya. Namun sepertinya untuk segala hal yang terus bergolak, meledak hanyalah persoalan waktu, cepat atau lambat.

Saya merasa menjadi orang lain. Atau kita memang tidak selalu harus menyenangkan diri kita sendiri? Apakah lumrah membenci apa yang menjadi rutinitas kita? Membenci, mengeluh lantas terus melakukannya. Rasanya, orang yang sadar akan itu namun mengabaikannya dan terus membenci hanyalah orang-orang bodoh. 

Kita punya kekuatan dan kita punya kemampuan untuk mengubahnya.

So, should I?

Saya tidak bahagia, selalu merasa kesepian dan kehilangan jati diri sendiri, harusnya itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi alasan.

 

Karina Sacharissa Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review