Sabtu, 27 November 2010

Tidur

Diposting oleh sachakarina di Sabtu, November 27, 2010
Inspired by Tidur--Dewi Lestari



Malam mulai berjingkat-jingkat naik, menyisakan pekat malam yang makin menusuk. Wanita cantik itu –Tiona—menarik koper besarnya dengan cepat. Dia ingin segera sampai di tempatnya akan menginap malam ini. Badannya serasa remuk redam karena kelelahan diperjalanan. Tiona segera menyetop taksi pertama yang ditemukannya.

Tiona memandangi lampu-lampu jalan yang masih terang benderang meski jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Pikirannya sudah melayang jauh menembusi lorong waktu. Menuju hari di mana dia meninggalkan kota itu tujuh tahun lalu. Dan tidak ada yang tahu betapa sangat rindunya ia dengan kota ini. Kota yang pernah menggoreskan banyak kenangan dan menyisakan kepedihan.

Taksi itu berhenti di depan sebuah rumah bergaya minimalis. Sepertinya seluruh penghuni rumah sudah tertidur, hanya lampu di sebuah kamar yang menyala. Jantung Tiona berdetak sangat cepat, dia tidak tahu apa lagi yang berubah dalam tujuh tahun itu. Tiona merasa agak takut, masih kah dia dianggap ada? Tapi kemudian Tiona menghela nafas panjang lalu menekan bel.

***

Aura kesedihan masih kental melingkupi rumah itu. Seminggu yang lalu, pemilik rumah itu yang tidak lain adalah tante Tiona meninggal dunia. Tiona tidak datang saat upacara penguburan. Tiona bahkan baru tahu dua hari lalu dan langsung terbang ke sini setelah mengurus semua pekerjaan kantor dan cuti.

Rumah itu sepi. Tidak ada lagi penghuni kecuali pembantu yang tadi membukakan pintu untuk Tiona. Wanita separuh baya itu mengantarkan Tiona ke kamar tamu yang memang sudah disiapkan khusus untuknya.


“Tante Kuni sakit berapa lama, Bi?” Tanya Tiona lalu duduk dengan gelisah di ujung tempat tidur. Tante Kuni adalah tantenya yang meninggal minggu lalu, pemilik rumah itu.


“Dua tahun, Bu. Komplikasi diabetes dan ginjal.” Tiona diam, sibuk dengan pikirannya sendiri. Melihat sang tamu yang sepertinya sudah tidak ingin bertanya lagi, wanita itu pamit untuk keluar, mempersilahkan sang tamu beristirahat. “Silahkan istirahat, Bu. Pasti masih capek setelah perjalanan jauh.” Lanjutnya lagi lalu beranjak menuju pintu.


“Bik Warni, emm…” Kata Tiona, dia jadi ragu melanjutkan kata-katanya. Bik Warni tidak jadi menutup pintu dan menoleh ke belakang.


“Iya, Bu?” Tanyanya sopan.


“Tidak usah panggil Ibu, panggil saya Tiona saja. Terdengar jauh lebih akrab.”


“Tapi—” Bik Warni ingin protes tapi Tiona langsung memotongnya.


“Riris?” Tiona berkata lirih. Bik Warni mengerti.


Wanita itu hanya mengangguk dan berjalan menuju sebuah kamar, Tiona mengikut di belakang dengan jantung yang makin bergemuruh. Penantian selama tujuh tahun itu akhirnya berakhir. Pintu kamar membuka. Tiona tertegun.

***

Tiona membatu. Tubuhnya tidak bisa digerakkan sedikitpun. Bahkan dia tidak sadar bahwa Bik Warni sudah keluar kamar dan menutup pintu. Membiarkan Tiona mengurai kenangan masa lalunya.


Pandangan Tiona tidak lepas dari sosok gadis kecil berumur tujuh tahun yang sedang terlelap di balik selimut tebal, memeluk sebuah boneka kelinci yang nampaknya sudah kusam. Tiona merasa matanya panas dan basah. Boneka itu dulu miliknya.


Tiona bergerak pelan, takut jika dia menimbulkan bunyi sekecil apapun gadis kecil di hadapannya akan terbangun. Tiona tidak ingin hal itu terjadi. Gadis kecil bernama Riris itu tersenyum tipis dalam tidurnya, entah apa yang sedang dia mimpikan. Perasaan bahagia Tiona lalu membuncah. Dadanya serasa akan meledak saking bahagianya.


Tujuh tahun yang lalu, saat dia masih berumur 19 tahun, Tiona hamil dan pacar yang akan menikahinya meninggal karena kecelakaan. Setelah anaknya lahir, Tiona malah diminta meninggalkan kota itu dan bayinya, dipaksa pergi lebih tepatnya. Bayi itu kemudian diangkat sebagai anak oleh Tante Kuni dan tidak sekalipun Tiona dibiarkan untuk menemuinya.


Tidak ada yang tahu –juga peduli dengan rasa rindu yang disimpannya selama tujuh tahun. Yang terus menumpuk-numpuk menyesakkan dada. Yang terus menghuni mimpi-mimpinya. Tiona duduk di tepi tempat tidur tangannya dengan ragu menyentuh Riris yang tengah terlelap itu, mengelus rambut halusnya pelan. Air mata itu sudah tak terbendung.


Tiona mengamati wajah Riris lama, wajah oval dan bulu mata lentik itu miliknya, bibir itu mirip sekali dengan pacarnya dulu. Tujuh tahun berlalu dan Tiona baru bisa menyentuh anak kandungnya sendiri. Membelainya seperti ini. Tiona menyingkap sedikit selimut yang menyelimuti Riris lalu dia menyusup masuk kedalamnya, mendekap erat Riris di dadanya. Riris bergerak tapi tidak terbangun, dia merapat kepelukan Tiona, tertidur jauh lebih lelap. Bahkan alam bawah sadar Riris tahu, di pelukan Tiona-lah seharusnya dia terlelap.


Tiona ingin terus seperti itu. Riris terus berada dalam pelukannya. Tidak akan dia lepaskan lagi. Jika mungkin, dia ingin waktu berhenti saja sekarang, agar mereka bisa tetap seperti itu.

***

Tak perlu kau bangun dari tidurmu
Tak usah bersuara menyambutku
Ku cukup bahagia berada di sini
Di sisimu, memandangmu,
Tanpa perlu kau tahu

Sekian lama sudah kita tak berjumpa
Tiada terbilang lagi rindu ini
Dalam haru, ku membisu

Oh...tidur, tenang
Oh...tidur, sayang, tidur
Malam ini kucukupkan hanya menatapimu
Malam ini kuputuskan untuk jaga tidurmu

Jika nanti semua ini berlalu
Jika ku tak lagi jauh darimu
Aku kan temani engkau selalu
Pagi, siang, sore, malam
Kapan pun engkau mau

Sekian lama sudah kita tak berjumpa
Tiada terbilang lagi rindu ini
Dalam haru, ku membisu

Oh...tidur, tenang
Oh...tidur, sayang tidur
Aku kan ada saat matamu membuka
Mendekap engkau seolah tiada esok, lusa

Tiada pergi jauh lagi dari engkau
Tiada malam, tiada pagi,
Tanpahangatjemarimu
Oh...tidur, sayang tidur

(Tidur, Dewi Lestari)


dimuat pertama kali di situs jejakubikel

0 komentar:

 

Karina Sacharissa Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review