Kamis, 11 November 2010

Membaca, Menulis, Mimpi dan Cerita Bersambung

Diposting oleh sachakarina di Kamis, November 11, 2010

Dulu.. saat masih SMP saya suka koleksi majalah-majalah (belum kenal teenlit soalnya, hehehe). Mungkin dibilang koleksi nggak juga karena saya beli majalahnya angin-anginan (saya bingung dengan kata saya sendiri), tergantung mood, saya nggak ngoleksi satu jenis majalah khusus dan merasa harus beli setiap edisinya. Jadi mungkin lebih tepat cuma ngumpulin majalah aja. Itupun habis baca langsung digunting-gunting. hahaha

Saya ingat, majalah yang saya sering beli itu Aneka Yes! tabloid Gaul, dan Fantasi. Nemu majalah itu juga untung-untungan. Maklum, saya tinggal di kota kecil, jadi nemuin majalah aja susah. Mesti pesan dulu sama agen seminggu sebelumnya. Repot kan! Makanya, saya beli yang ada aja. Saya tipe orang yang suka mesen barang kayak gitu, saya kan nggak sabaran, kalau pengen sesuatu harus ada saat itu, kalau nggak saya nggak bisa tenang, nungguin majalah selama seminggu aja udah kayak setahun (jiahh, lebay).

Nah, dari majalah-majalah itu saya mulai suka membaca cerpen. Saya memang senang membaca cerita sejak masih kecil. Mama saya seorang guru Bahasa Indonesia dan beliau punya banyak koleksi buku Bahasa Indonesia. Papa saya juga suka ngoleksi buku meskipun saya jarang ngeliat beliau membaca. Mungkin rajinnya pas beliau masih muda kali yah!hehehe. Kalau saya sedang bosan, saya suka tongkrongin rak buku, membuka semua buku Bahasa Indonesia milik Mama dan mencari cerita pendek atau dongeng yang bisa saya baca. Asalkan tulisan itu ringan saya senang membacanya. Saya menjadikan membaca sebagai kegiatan refreshing, itu sebabnya saya malas membaca tulisan yang 'berat-berat'.

Sejak masih kecil juga saya senang sekali jika diajak oleh Papa ke toko buku, saya punya banyak buku cerita bergambar. Dari awal Papa mungkin memang ingin saya suka membaca. Sekarang pun salah satu tempat favorit saya adalah toko buku, dan merasa berat keluar kalau belum beli, hehehe.

Saya ingat buku cerita saya yang berjudul 'Blirik dan Itik' (entah saya benar mengingat judulnya), yang pasti ceritanya tentang Blirik, si anak ayam yang iri melihat itik berenang. Dia sudah diberi peringatan oleh ibunya bahwa dia tidak bisa berenang karena tidak memiliki kaki berselaput seperti itik tapi Blirik tidak peduli, dia terjun ke kolam, dan nyaris tenggelam. Untung di tolong oleh Budi.(Hahahha, otak saya masih mampu mengingatnya)

Ada juga buku cerita saya tentang Katak yang pengen menjadi Lembu dan perutnya meletus karena terus-terusan makan. Saya jadi ngeri. Apakah saya rada malas makan karena itu? karena takut perut saya meletus? Hahaha, saya terlalu tebuai dongeng. Saya juga punya buku cerita dan maaf, saya sudah lupa ceritanya apa. Yang saya ingat dibagian depan buku itu ada gambar jam besar yang jarumnya bisa berputar, tokoh dalam buku itu bernama Andi. Ketika adik saya lahir dan ternyata laki-laki, saya ngotot ingin memberinya nama 'Andi'. Papa mengiyakan saja tapi akhirnya tetap memberi nama lain. Airel Mempawardi.

Saya juga senang menghasilkan hasta karya. Entah mengapa tangan saya bisa dengan mudah membuatnya. Teman saya masih pusing bagaimana cara membuat origami love dari kertas tapi saya mampu membuatnya hanya dengan sekali lihat dan mencoba (Nggak sombong, tapi mungkin itu memang kelebihan saya). Saya senang sekali origami. Dulu, saya punya sebuah buku origami yang sangat saya suka dan berhasil disobek-sobek sepupu saya yang masih kecil. Sejak itu, jika saya ke toko buku saya pasti akan mencari buku tentang origami. Bahkan sampai sekarang, tapi nggak pernah jadi beli. Saya juga pandai merajut, menyulam, dan lainnya. Saya juga senang menggunting-gunting.

Tapi saya tak pandai bercerita. Pernah suatu hari, saat saya masih SMP, Papa menyodorkan sebuah buku tebal yang berjudul 'Ibu', kumpulan cerpen tentang ibu. Papa menyuruh saya membaca salah satu cerpen di buku itu lalu menceritakan kembali isinya. Judulnya "Diantara Dua Muara". Saya sangat menikmati membacanya, kisah yang menarik. Tapi saat diminta untuk menceritakannya kembali dalam bahasa lisan, saya tidak bisa, cerita yang baru saja saya baca itu seperti lenyap dari otak seketika. Saya tidak mampu menyusun kata, suara saya hilang entah kemana.

Sebenarnya cerita itu simple sekali, hanya bercerita tentang seorang Guru SMA sakit- sakitan yang ingin sekali punya anak laki-laki. Saat itu istrinya memang sedang hamil tua. Dan ternyata anaknya terlahir dengan dua alat kelamin. Ibu yang ingin menyenangkan suaminya mengatakan bahwa anaknya laki-laki, tanpa pernah memberitahu bahwa anaknya 'cacat'. Waktu berlalu, anak itu tumbuh dewasa, dan ternyata sifat kewanitaannya lebih menonjol, dia senang bermain boneka, dia suka membantu ibunya memasak, dia bergaul dengan anak perempuan. Oleh teman-temannya dia dikatakan banci. Ayahnya pun memarahinya, hanya Ibunya yang mengerti. Setelah ayahnya meninggal, Ibunya mengizinkan agar dia dioperasi dan disidang untuk mengukuhkan statusnya sebagai wanita.

well, saya memang tidak bisa menceritakan dengan lisan tapi saya mampu menuliskan kisah itu kembali meski sudah bertahun-tahun sejak saya membacanya. Saya memang lebih senang menulis. Saya juga lebih senang ujian tulisan dari pada lisan. Dan saya tidak suka presentasi!

Suatu hari saya masuk ke perpustakaan dan menemukan buku (yang saya masih heran kenapa buku itu ada di perpustakaan sekolah) mengenai menulis sebuah diary (Mungkin hal itu hanya mengherankan untuk saya, dan orang lain tidak). Tapi saya langsung meminjamnya, membaca sekilas lalu segera membeli diary yang berkunci (takut di baca orang lain). Saya mulai rutin menulis diary secara diam-diam. Saya hanya ingin menulis jika sendiri. Saya agak tertutup, saya tak ingin ada orang yang tahu apa yang sedang saya lakukan.

Awalnya saya menulis hampir tiap hari, kemudian berkurang seminggu sekali, lalu saya menulis hanya jika ada hal penting dan pantas untuk dituliskan dalam diary. Buku diary saya pernah dibaca oleh teman (4 orang) yang sumpah iseng banget, sok pengen tahu masalah orang lain, dan dia menemukan bagian saya sedang menumpahkan uneg-uneg tentang mereka yang tidak menghargai sama sekali hasil kerja keras saya saat kami menyelesaikan tugas kelompok bersama. Saya langsung salting (salah tingkah), mereka juga tidak kalah salting-nya. Saya juga sih yang salah, membawa buku diary ke sekolah dan membiarkan kuncinya tergeletak begitu saja di tempat pensil. Kakak saya juga pernah membaca diary saya, saya tidak tahu bagian mana yang dia baca, yang saya tahu saya kesal sekali dan jadi malas menulis diary lagi. Padahal saat itu diary satu-satunya teman cerita saya. Saat masih SMP saya tak punya sahabat karib yang saya rasa pantas untuk menjadi 'tempat sampah' saya.

Saya termasuk pemilih dalam urusan pertemanan saat itu. Di sekolah saya tak butuh sahabat, di sekolah saya hanya ingin belajar dan segera pulang ke rumah setelah jam sekolah usai. Silahkan berpendapat saya kuper, saya memang tidak suka dengan teman sekelas saya, yang menurut saya mereka semua sombong! mereka akan berpura-pura tidak mengenal saya saat berpapasan di luar sekolah, lama-kelamaan saya juga sangat pandai melakukan itu. Sampai sekarang. Seperti balas dendam.

Setelah SMA, saya menemukan teman-teman baru yang menganggap saya ada. Saya tumbuh bersama mereka, bersama persahabatan kami yang sangat agung. Saya terlalu angkuh untuk sekedar mengingat teman-teman SMP saya lagi.

Saat SMA pula saya mulai membaca teenlit dan mulai menulis cerita --cerpen. Saya punya beberapa cerpen yang kadang jadi rebutan oleh sahabat saya jika kami mendapat tugas menulis cerpen saat pelajaran Bahasa Indonesia (dilebih-lebihkan sedikit nggak apa-apa lah. hehehe). Anehnya, saya suka menulis tapi tak suka pelajaran Bahasa Indonesia. Saya hanya suka mengarang saja, saya senang berkhayal dan menuliskan khayalan saya dalam cerita. Membuat kalimat berstruktur S-P-O-K saat pelajaran Bahasa Indonesia bukan pelajaran favorit saya. Padahal saya menerapkannya saat menulis cerita. Aneh kan?

Saya sering menulis cerpen atau novel tapi hanya setengah jadi, jika saya sudah bosan saya akan meninggalkannya dan akan lupa sama sekali, naskah itu benar-benar jadi sampah. Diary-diary saya saat masih SMP sudah saya bakar habis, saya puas saat melihat kenangan saya hangus jadi abu. Toh, saya masih memilikinya di memori otak. mengkristal.

Saya mulai lebih sering menulis saat kuliah, saya merasa jauh lebih bebas berekspresi. Meski tulisan saya tak pernah dibaca oleh siapapun. Saya tetap saya yang dulu, tak ingin menulis jika ada seseorang di dekat saya (kecuali sahabat yang tahu keinginan saya: menerbitkan sebuah buku), tapi tetap saja mereka tidak pernah membaca karya saya karena saya memang tidak membiarkan. Wait and see tetap jadi pegangan saya. Saya tak ingin berkoar-koar (tidak mampu, hehehe) tapi saya ingin membuktikan bahwa saya bisa.

Dan lihat, saya benar-benar sudah menerbitkan sebuah buku.

saya ingin menyombongkan diri di depan keluarga besar saya yang selalu 'mengintimidasi' saya dengan membanding-bandingkan saya dengan sepupu-sepupu saya yang lain. Bahwa mereka jauh lebih pintar (di sekolah), penerima beasiswa sepanjang mereka sekolah dan saya tidak ada apa-apanya. Saya tidak pernah menerima beasiswa meski saya selalu masuk lima besar di sekolah, dan itu tidak diperhitungkan. Saya ingin memperlihatkan pada mereka, bahwa saya mungkin setingkat lebih tinggi dari sepupu saya yang lain: saya sudah mewujudkan salah satu mimpi saya.

Saya senang melihat keheranan sekaligus rasa senang yang terpancar dari mata orang tua saya setelah mengetahui bahwa saya sudah memiliki buku karya saya sendiri. Kabar itu bukan mereka peroleh dari saya, tapi malah dari kakak saya.

Papa hanya bisa bertanya "sejak kapan kamu mulai menulis?"

Saya tersenyum, berarti selama ini usaha saya untuk menyembunyikan kegiatan menulis saya berhasil. Saya memang tak ingin mereka tahu. Saya tak suka menggembar-gemborkan sesuatu hal yang belum pasti.

Thanks to nulisbuku

Sekarang saya ingin sekali menulis sebuah cerita bersambung yang paling tidak di publish di blog. Saat saya masih SMP dulu, saya pernah membaca cerita bersambung di majalah Fantasi, saya sangat penasaran dengan endingnya. Tapi saya tidak menemukan majalah Fantasi edisi pekan berikutnya yang berarti berisi lanjutan cerbung edisi lalu. Jadi terpaksa saya harus menelan rasa penasaran saya mentah-mentah mengenai ending cerbung itu.

Saya sudah punya tema, alur, nama tokoh, bahkan outline cerita tapi belum mampu menuangkannya dalam cerita. Saya kehabisan ide dimana saya harus memulai cerita itu. Saya kebiasaan memikirkan cerita-cerita saya dengan beruntun agar alurnya tertata dengan rapi, cerita sebelumnya harus memiliki kaitan dengan cerita selanjutnya. Saya tidak ingin ada adegan dalam cerita saya yang hanya adegan sekedar lalu saja, tidak mendukung keseluruhan cerita saya. Misalnya, tokoh utama A berkenalan dengan si Z. Setelah perkenalan itu, sudah. Mereka hanya kenal saja lalu selesai. Tak ada cerita, tak ada tujuan si Z ada, selain menambah lembar-lembar cerita itu, selain membuat pembaca bosan dan malas untuk membaca lembar selanjutnya.

Saya ingin menulis sebuah cerita bersambung. Sebuah novel yang di publish secara bersambung. Saya hanya perlu sering-sering berimajinasi, mencari adegan yang pas, menuliskannya dalam cerita lalu membiarkan orang lain membacanya. Tak apa jika orang lain tidak menyukainya. Yang penting saya sudah mewujudkan keinginan saya.

Saya selalu terngiang-ngiang potongan kalimat di blog penulis favorit saya, Sitta Karina,
"Karya 'remeh' pun butuh totalitas"


Saya hanya ingin mewujudkan keinginan saya, bukan untuk menuai pujian. Meski dikritik itu memang agak sedikit menyakitkan, tapi pada dasarnya saya senang di kritik daripada menuai pujian yang ternyata hanya pura-pura —untuk menyenangkan saya saja. Di kritik, membuat saya tahu dimana letak kekurangan saya dan saya bisa memperbaikinya agar bisa jadi lebih baik.

Saya selalu berharap bisa jadi lebih baik. Bukankah semua orang ingin seperti itu?

Well, mungkin saya sudah menulis terlalu banyak, saya sendiri bahkan nggak nyadar, malam ini saya lagi bawel banget. hehehe

0 komentar:

 

Karina Sacharissa Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review