Senin, 15 November 2010

Jadi siapa yang pantas untuk menulis???

Diposting oleh sachakarina di Senin, November 15, 2010

Mood saya sedang sangat bagus, tertawa-tawa saat membaca twit seru di twitter. Akhir-akhir ini memang saya sedang keranjingan bermain twitter. Terutama setelah ada @nulisbuku dan teman-teman #99writers yang lain, yang punya keinginan sama dengan saya. Bisa terus menulis.

Saya sedang berusaha mencari ide untuk menulis Review untuk novel ‘Relationship’ yang ditulis @dheaadyta. Tiba-tiba ponsel saya berdering, nomor yang sama sekali tidak saya kenal. setelah saya menjawab dan mendengar suara si penelpon saya langsung menyesal telah mengangkatnya.

Kemarin, orang itu juga menelpon saya dan membuat darah saya mendidih (didukung oleh fakta bahwa saya tidak terlalu suka berbasa-basi dengan orang yang tiba-tiba saja menelpon dengan alasan salah sambung, orangnya nyebelin pula! Atau mungkin memang saya yang emosian!)

Saya tak bisa menutup telpon dengan alasan tidak enak. Yang nelpon kan dia, masa sih saya harus menutup telponnya secara sepihak. Terpaksa saya harus mendengarkan celotehan-celotehannya yang membuat kuping saya panas.

“Kok SMS tadi pagi nggak dibalas?” Tanyanya. Pagi tadi dia memang mengirimi saya SMS yang berisi ucapan selamat pagi, saya tidak mengindahkan SMS itu. Sengaja.

“Nggak liat.” Jawab saya pendek.

“Nggak liat berarti nggak baca dong!” Katanya dengan nada sedikit mengejek. Saya mulai jengkel. Tinggal tekan tombol warna merah aja, telpon itu udah putus, tapi susaaahh banget. Saya kok jadi nggak tega juga! Berarti kesalahan memang ada pada saya.

“Liatnya telat, udah siang jadi nggak di balas.” Saya mulai berujar ketus.

“Lagi ngapain?” Tanyanya lagi.

“Ngetik.” Sebenarnya saya sengaja bilang kalau saya lagi ngetik biar dia sadar dan segera nutup telpon.

“Oh, kirain lagi nelpon!” Katanya.

“Nggak, alasan kayak gitu udah basi.” Dia lalu menggumam tidak jelas. “Alasan lagi nelpon itu udah pasaran, nggak ada alasan lain apa!" saya melanjutkan.

"Pakai kata 'pasaran' baru cocok, yang basi itu cuma makanan!" Katanya. Saya langsung menyimpulkan (didukung oleh emosi yang emang udah nggak stabil) bahwa dia terlalu kaku.

"Lagi ngetik apa?"

"Review bukunya temenku!"

"Nyari di internet aja!" Sempat terlintas dipikiran saya kalau dia nggak ngerti arti kata review saat mendengar perkataannya.

"Emang yang baca bukunya internet? Gimana sih! Kalau saya yang baca bukunya berarti yang nulis reviewnya pasti saya juga dong!" Saya mengomel dengan kecepatan tinggi yang membuat urat-urat leher yang ikut menonjol.

"Tenang, pelan-pelan aja, ini Makassar kok, kendaraan banyak!" Dia mulai ngelantur.

"Itu berarti saya lihai. Banyak kendaraan tapi masih melaju dengan kecepatan tinggi, dan selamat!"

"Itu berarti bukan lihai tapi lincah." katanya sambil tertawa, tepatnya menertawai pilihan kata saya yang dianggapnya salah.

"Bedanya lihai sama lincah apa?"

"Kalau lihai udah berpengalaman, kalau lincah belum terlalu berpengalaman."

"Nah, Saya emang lihai! terus kalau saya pengen pakai lihai atau kata apapun suka-suka saya dong!"

Lalu dia mengucapkan kalimat yang membuat emosi saya benar-benar memuncak, saya jadi bom waktu yang siap meledak. "Kamu kan anak fisika, nggak usah bahas tentang bahasa! Fisika, fisika aja!"

meski tidak langsung, kalimatnya seakan-akan mengatakan bahwa saya itu tidak pantas menulis, saya pantasnya cuma pelototin rumus fisika sampai keriting. Merangkai kata itu bukan bidang saya tapi itu diperuntukkan untuk anak Bahasa. Bukan seperti saya yang kuliah di jurusan Fisika.

Kemarin dia mengaku bahwa dia adalah anak teknik elektro dan saya sama sekali tidak percaya setelah mendengar kata-katanya tadi.

Jadi siapa yang pantas untuk menulis?

"Lah, emang yang boleh pelajari bahasa cuma anak bahasa aja?" Tanyaku geram.

"Tapi mempelajari Fisika adalah kewajiban kamu. Jadi kerjain kewajiban kamu aja, nggak usah jurusan orang lain!"

Saya diam, dia terkekeh pelan, menjengkelkan. Saya diam bukan karena nggak tahu apa yang pengen diomongin lagi. Bukan. Saya pengen sekali 'menyemprotnya', bagaimanapun ego saya sempat tersentil. Emosi yang meluap-luap membuat kata-kata saya langsung lenyap, hilang begitu saja tertelan kemarahan. Saya berusaha mengatur nafas agar lebih tenang. Dia tertawa lagi karena saya terdiam. Merasa sudah diatas angin mungkin.

Sudahlah. saya sudah tak ingin menanggapi lagi.

Harusnya dari awal saya tidak menggubrisnya, hanya merusak mood saya saja. Saya sudah tidak berkata apa-apa lagi sampai dia berkata.

"silahkan dilanjut--" belum sempat dia menyelesaikan ucapannya saya sudah memotong.

"Makasih!" Kataku ketus, menyindir.

Telepon saya tutup.

Saya janji tidak akan pernah mengangkat teleponnya lagi.

Janji!!!!!!

0 komentar:

 

Karina Sacharissa Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review