Saya pecinta warna-warna cerah. Merah, kuning, hijau dan semua warna pelangi. Saya sangat-sangat suka Pelangi. Beberapa bulan lalu saya berlibur dengan rekan-rekan kerja ke Malino yang ada di kaki gunung Bawakaraeng selama tiga hari. Liburan yang sangat menyenangkan. Kami berenang di kolam renang lembah biru, serasa berenang di dalam air es, hanya setengah jam bermain gigi kami mulai bergemeletukan, bibir mulai memutih. Kami segera berkemas untuk kembali ke Villa saat gemiris perlahan berganti menjadi butiran hujan.
udah kedinginan tapi masih menyugukan senyum termanis
Sore harinya setelah hujan reda, kami mengunjungi hutan pinus, bersantai sebentar di sana lalu melanjutkan perjalanan ke kebun teh. Sinar matahari menembusi sisa-sisa hujan hingga terbentuk pelangi. Dari puncak kebun teh, pemandangan indah itu memanjakan mata saya.
yang lain sibuk berpose dan saya sibuk membidik pelangi
Sore semakin pekat saat kami meninggalkan kebun teh dan bermaksud mengunjungi kebun strawberry, saya berharap kebun itu seperti kebun-kebun yang sering ada di TV. Sepanjang perjalanan saya tak pernah mengalihkan perhatian dari Pelangi yang terlukis di langit di depan kami. Saya sampai bergumam pelan pada teman disamping saya.
“Disana ada bidadari” Teman saya itu tidak menggubris, tidak mendengar mungkin karena suara saya yang sangat kecil.
Pelangi itu terlihat dekat sekali, dan mobil bisa mencapainya, dalam hati saya menyemangati sang sopir, “Ayo.. ayo.. lebih cepat, sebentar lagi kita bisa mencapai Pelangi.”
Saya tahu itu tidak mungkin.
Dan saya sangat kecewa saat berdiri di depan kebun strawberry itu apalagi kami sudah nyasar berkali-kali, kebun itu benar-benar hanya kebun, hanya sepetak sawah yang dijadikan kebun dan hanya ada daun, tak ada buah sama sekali. Saya membayangkan buah-buah strawberry yang gemuk-gemuk dan memerah, tapi tak ada. Tak sampai lima menit di sana kami sudah meninggalkan kebun itu.
Seminggu setelah pulang dari Malino saya liburan ke Jakarta. Saya sangat tidak suka tebang apalagi dalam kondisi cuaca yang agak buruk (siapa sih yang suka?). Saya sebenarnya takut ketinggian dan kedalaman, tapi saya suka melihat pemandangan dari ketinggian (apasih? :p), makanya kalau naik pesawat saya selalu ingin duduk di dekat jendela. Berkali-kali terdengar pemberitahuan bahwa kapal sedang melewati daerah dengan kondisi cuaca buruk, dan setiap terdengar pemberitahuan itu jantung saya langsung memompa cepat dan otak seketika berpikir macam-macam. Saya mengalihkan perhatian dengan melihat gugusan-gugusan pulau yang ada di bawah. Lalu saya melihat pelangi.
Saya tidak tahu apakah penglihatan saya yang salah atau memang pelanginya yang seperti itu, tapi saya tetap takjub, lebih takjub dari biasanya.
Saya pernah menanyakan kenapa pelangi itu selalu melengkung, jawaban yang saya dapat adalah pelangi hanya dapat dilihat dari sudut sekian derajat (lupa).
Tapi saat itu, dihadapan saya sedang terbentuk pelangi yang tidak melengkung seperti biasa, tapi tegak lurus. Saya tak bisa mengalihkan pandangan dari pelangi itu tapi pesawat keburu berganti arah, saya kehilangan pelangi itu.
Sepulangnya dari Jakarta dikepala saya hanya ada tentang pelangi, saya ingin sekali menuliskannya dalam cerita,
Dan dari semua warna saya paling suka warna merah, tapi saya juga suka kuning, juga hijau daun, juga biru laut tapi porsi merah lebih besar.
Itu dimulai sejak setahun yang lalu, akhir Januari 2009. Saat itu saya sedang dekat-dekatnya dengan seseorang, kami sering jalan bareng (well, saat itu kami sudah pacaran sih!). Kegiatan favoritnya adalah mengomentariku, apa saja dia komentari, mulai dari umur saya yang katanya masih sangat muda untuk jadi pacarnya (saat itu saya masih 17 tahun mendekati 18) dan saya seumuran dengan adiknya, dia selalu berkata bahwa dia seperti sedang memacari adiknya sendiri -_-. Dia juga suka mengomentari tinggi saya yang tidak seberapa dibandingkan dia yang tingginya lebih dari 170 cm, saya memang doyan pakai hak tinggi kemana-mana jadi komentar itu bisa diantisipasi. Dia juga mengomentari bahwa saya sangat kurus, juga tentang warna pakaian yang saya pakai.
Saya merasa warna kulit saya cocok jika dipadankan dengan warna merah, karena ingin tampil lebih baik makanya saya lebih sering memakai baju berwarna merah jika bersamanya (baju saya memang kebanyakan berwarna merah).
“Kenapa sih selalu pakai baju warna merah? Silau.” Katanya, saya cuma tersenyum. Tak pernah sekalipun saya menanggapi komentar-komentarnya, saya menganggapnya hanya selingan saja. Itu berarti dia memperhatikan saya, sedikit perubahan pasti di komentari olehnya, jadi saya menikmati jika dikomentari olehnya, malah saya merasa aneh jika dia tidak berkomentar lagi.
Setelah komentarnya tentang warna merah itu saya selalu membuatnya jengkel dengan sengaja memakai pakaian yang berwarna merah jika kami bersama, hanya agar dia mau mengomentari saya. Saya juga mulai mengumpulkan pernak-pernik berwarna merah, dan saya memang mulai jatuh cinta pada warna merah. Mengalahkan cinta saya pada warna-warna cerah lain.
Saya dengan berani akan mengenakan warna merah saat matahari sedang bersinar sangat terik. Teman saya sering bertanya apa saya tidak merasa terbakar? Tidak. Memakai pakaian berwarna hitam di siang bolong menurut saya jauh lebih panas di bandingkan merah, lagian saya menyukainya. Tak ada yang salah.
Jadi, saya menyukai warna merah itu sebenarnya karena dia, karena di sering mengomentari saya, dan saya ingin terus dikomentari (diperhatikan), dan berakhir dengan saya yang benar-benar menyukainya.
Sekarang, kisah satu tahun lalu dengannya itu memang hanya tinggal kenangan saja, tapi saya tetap menyukai warna merah. Saya tetap menyukai pelangi, saya tetap tidak tinggi, saya masih seperti dulu. Sama. Saya hanya semakin tua.
0 komentar:
Posting Komentar