Teratai
Dia memanggilku Teratai.
Aku masih bingung kenapa dia sering memanggilku begitu. Ketika kutanyakan padanya dia hanya menjawab, “Karena kamu seindah teratai!”
Aku bukan pecinta bunga, aku tidak begitu suka teratai. Yang aku tahu teratai adalah tanaman yang bermanfaat dan banyak tumbuh di danau atau di lumpur, tidak terawat. Apakah dia melihatku seperti itu?? Ya, aku setuju. Aku memang seperti di tempat yang tidak satupun orang ingin hidup di sana. Seperti lumpur.
Aku memanggilnya Embun. Dia adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Dulunya, aku memiliki Matahari. Tapi entah kemana Matahari sekarang. Dia pergi bergitu saja. meninggalkanku yang kesepian. Aku bersyukur ada Embun yang menemaniku. Aku tak khawatir lagi jika Matahari tak kembali.
“Kenapa kau memanggilku Embun, Teratai?” tanyanya padaku, aku tersenyum simpul lalu menjawab.
“Karena kau seperti Embun. Menyejukkan.”
Embun menawarkan untuk menemaniku menelusuri lika-liku hidup yang begitu rumit. Mendorongku untuk terus maju demi meraih mimpiku. Mendukungku saat aku terpuruk jatuh dalam keputusasaan. Dia tahu bahwa aku ingin bisa berguna untuk siapapun. Seperti bunga teratai yang bisa bermanfaat untuk orang banyak. Embun memang selalu melihatku dari sudut berbeda. Dia tidak seperti orang-orang yang hanya menganggapku sebelah mata.
Aku tidak sabar untuk menunggu detik-detik merekahnya kuncup yang aku miliki. Aku ingin Embunlah yang melihatku mekar pertama kali. Aku ingin membuatnya bangga. Karena dialah aku bisa mengangkat dagu saat orang-orang angkuh itu menatapku takjub. Lalu kulihat Matahari mendekat.
Hal terakhir yang kuinginkan adalah Embun meninggalkanku. Aku tidak ingin dia pergi. Tidak disaat aku mampu menghadapi Matahari dengan berani seperti sekarang. Akan kutunjukkan padanya bahwa aku bisa tanpanya!
“Matahari datang menemuimu.” Embun membisikiku. Suaranya terdengar sedih. Seperti kata.. perpisahan?
Mataku mengabur. Dia benar-benar akan pergi.
“Kamu sudah tumbuh menjadi bunga yang cantik Teratai. Aku Embun, Matahari tidak akan pernah membiarkanku tetap disini. Selamat tinggal.”
“Terima kasih, Embun.” Ucapku lirih, suaraku ditelan tangis.
Dia tersenyum lalu kemudian menghilang.
Aku terisak di kolam lumpurku.
***
Matahari
Teratai adalah milikku. Bukan orang lain.
Kemana pun aku pergi, kemana pun dia pergi, dia akan—harus—kembali padaku. Dia sangat membutuhkanku, lebih butuh daripada Embun yang datang seenaknya saja. Aku ingin menyingkirkannya tapi kegelapan itu memenjaraku dalam ketidakberdayaan.
Disana, aku bisa melihat Teratai mulai merekah. Dia sangat indah. Putih cemerlang. Embun menatapinya takjub. Juga orang-orang lain. Aku tidak ingin Embun berada di dekatnya. Harusnya aku yang berada di situ. Kegelapan itu perlahan menghilang, Embun tahu jika sudah saatnya dia untuk pergi. Ini bukanlah masalah persaingan, tapi hukum alam!
Teratai menangis saat Embun mengucapkan perpisahan. Apakah saat aku pergi dia juga menangis? Tapi meskipun aku pergi, aku tetap kembali kan? Embun tidak seperti itu. Jika dia pergi tak ada jalan untuk kembali lagi.
Embun lalu menguap. Hilang.
Terima kasih sudah menjaga Terataiku, Embun.
***
Embun
Dia seperti teratai yang tumbuh di lumpur. Indah, tapi terabaikan. Dan aku tahu dia berbeda.
Karena dia Teratai.
Saat itu Matahari meninggalkannya dalam kegelapan. Kesedihannya sirna saat aku mendekat padanya, olehnya aku merasa sangat dibutuhkan. Dia memanggilku embun karena menurutnya aku selalu menyejukkannya. Aku bangga sekaligus takut. Jika aku adalah Embun, bisakah aku melihatnya merekah? Akankah Matahari membiarkanku??
Teratai akan semakin indah jika tumbuh di kolam berlumpur. Aku akan menunggu sampai dia merekah menjadi bunga yang sangat cantik. Membuat kolam lumpurnya menjadi mempesona dan orang-orang tercengang. Teratailah pusat pesona itu. Suatu hari akan ada kolam berlumpur yang menyita perhatian semua orang.
Aku tahu Matahari memilikinya dan dia tidak akan membiarkanku ada di dekat Teratai selamanya. Tapi aku akan menggunakan kesempatan yang sangat sempit ini untuk membuat Teratai senang. Aku tidak akan pergi setidaknya sampai Matahari kembali datang. Bagaimana pun Teratai tidak akan pernah bisa lepas dari Matahari. Itu hukum alam.
Kadang dia menyerah. “ Aku tidak ingin hidup di lumpur lagi.” keluhnya.
“Suatu saat kamu akan sadar seberapa penting lumpur itu untukmu. Bersabarlah.” Aku berusaha menenangkannya. Dia selalu butuh itu. Setelah itu dia akan berjuang lagi dan lagi. Katanya dia ingin aku orang pertama yang harus melihatnya merekah. Aku tidak yakin tapi aku tetap mengiyakannya saja.
Perlahan kuncupnya mulai merekah menjadi sebuah kelopak yang sangat indah. Putih. Sangat cemerlang. Dia benar-benar bersinar. Aku tersenyum senang. Selama ini aku tidak salah. Lumpurlah yang membuatnya seperti itu.
Dari kejauhan kulihat Matahari mendekat.
Aku ingin lebih lama menatap Teratai, tapi Matahari tidak akan pernah mengizinkanku. Aku harus pergi.
Dia menangis saat aku mengatakan perpisahan.
“Kau tahu kenapa aku selalu senang karena kau tumbuh di lumpur? Dan bukan hidup di kolam jernih?” Dia menggeleng. “Karena teratai yang hidup di air yang sangat berlumpur–seperti milikmu—akan menjadikan bunganya semakin cemerlang. Aku ingin kamu seperti itu.”
“Kamu akan pergi? Jangan…” dia berkata pelan dan lirih. Suaranya bergetar. Air matanya menggenang.
Aku menggeleng. “Kamu sudah tumbuh menjadi bunga yang cantik, Teratai. Aku Embun, Matahari tidak akan membiarkanku tetap disini. Selamat tinggal”
“Tapi aku ingin kau.” Air matanya jatuh satu-satu. Aku merasa pilu. Memang tak ada perpisahan yang menyenangkan.
“Aku tahu kau lebih butuh Matahari daripadaku. Selamat tinggal”
“Terima kasih, Embun!” bisiknya di sela tangis.
Aku mengangguk, tersenyum lalu menghilang.
***
2 komentar:
Huwaaa benar-benar mengharukan T_T
salam kenal chingu
Dinda Imnida
Annyeong Dinda.
Thank u ya udah berkunjung.
Salam kenal juga.
Icha Imnida :)
Posting Komentar