Aku mengenggam tangan gadis yang sedang terlelap di atas tempat tidur di dalam ruangan bernuansa hijau muda, jarinya terasa dingin. Aku menoleh ke kanan dan bergidik ngeri melihat berbagai jenis alat kedokteran yang melekat di tubuhnya. Semua alat itu seolah berdetak menghitung jumlah hari yang masih mampu dilaluinya. Penyakit Leukimia terus menggerogoti tubuhnya sedikit demi sedikit.
Namanya Zella Thania Jacinda. Dia meminta untuk dipanggil Jaci.
Pertemuan pertama kami di supermarket tidaklah spesial, satu-satunya yang spesial hanyalah dirinya sendiri. Dia tampak menonjol di antara ribuan orang yang ada di tempat itu, enam bulan yang lalu. Dia cantik. Jelas.
Sebelum kami saling mengenal lebih dekat, aku kesulitan mendeteksi darimana sebenarnya dia berasal. Matanya terlalu lebar untuk ukuran gadis Korea, dan paras wajahnya tampak berbeda. Rambut cokelat sepunggungnya dibiarkan tergerai, dihiasi jepitan kuning yang terlihat lucu. Bibirnya menyunggingkan senyum menawan.
“Ayahku campuran Amerika Latin dan Indonesia, sedangkan Ibuku orang Korea. Itu sebabnya aku tampak aneh.” katanya padaku beberapa hari kemudian saat kami bertemu kembali di sebuah café.
Tak ada yang aneh dalam dirinya. Dia sangatlah menakjubkan. Wajah khas Latinnya tampak indah, hidungnya mancung. Matanya agak lebar dan berwarna cokelat susu, pasti dia mendapatkan mata indah itu dari gen Indonesia-nya. Dan kulitnya putih mulus, tak ada bintik hitam sedikitpun seperti orang-orang Latin lain. Dia jelas sangat indah. Dan semua itu bukanlah sebuah rekayasa kedokteran.
Dia sama sepertiku, sangat senang memasak. Tapi dia jauh lebih hebat. Dia terobsesi untuk belajar membuat segala jenis masakan dari berbagai belahan dunia. Dia juga sangat menyukai Super Junior meski awalnya dia tidak mengenaliku sebagai salah satu penyanyi utama di Super Junior.
“Aku lahir di Meksiko dan menghabiskan sebagian masa kecilku di Korea hingga aku berumur enam tahun, lalu aku kembali ke Meksiko untuk menyelesaikan sekolahku. Aku hanya mengunjungi Indonesia sekali-sekali. Aku punya seorang teman di sana yang memiliki nama sama denganku, kami berkenalan di salah satu website yang sering aku kunjungi. Hahaha,” Jaci tertawa setelah menceritakan tentang dirinya. “Aku seharusnya tidak menceritakan semua cerita tidak penting ini padamu. Aku memang agak konyol.”
“Tidak.” jawabku cepat. “Aku suka mendengarmu bercerita.”
Suara soprannya terdengar merdu. Logat Koreanya terdengar aneh karena tercampur dengan logat lain. Aku menyukainya. Aku menyukai segala tentangnya. Aku tak menyangka bahwa untuk menyukai seseorang hanya memerlukan waktu yang singkat. Aku benar-benar jatuh padanya. Cinta itu telah meretas.
Pembicaraan kami melompat-lompat dari topik yang satu ke topik yang lain. Bersama dengannya, kau tidak perlu berpikir akan membicarakan apa lagi setelah pembicaraan terakhir berakhir, dia akan memberi topik baru yang tidak kalah asyik untuk dibahas. Dia selalu menceritakan keindahan kota tempatnya tinggal, sebuah Negara yang terletak di Amerika Utara.
“Di Seoul aku tinggal bersama sepupuku, dan kau adalah teman pertama yang aku temui. Apakah kau ingin menjadi temanku seterusnya?” Aku mengangguk antusias. Raut wajahnya langsung berubah kecewa. Apa yang salah? “Sayang sekali. Padahal aku ingin kau menjadi sahabatku, bukan hanya sekedar teman.” Dia melanjutkan.
Alisku berkerut. Baiklah, aku tidak mengerti apa yang ada dipikirannya. Dan kata-kata yang
dikeluarkannya membuatku bingung. “Aku ingin menjadi sahabatmu, jika kau menginginkan itu. Lebih dari sekedar teman.” Dia berbinar ceria mendengar ucapanku. “Aku bahkan bersedia menjadi pacarmu jika kau mau.” candaku.
“Hahaha, aku hanya membutuhkan sahabat. Bukan pacar yang akan kutinggal pada akhirnya.”
Heh?
Saat itu aku baru mengenalnya beberapa hari. Kali ini aku tahu semua. Seiring waktu yang kami habiskan bersama hingga aku bisa mengenalnya lebih dalam. Dia telah menyembunyikan sesuatu dariku. Dia menyembunyikannya dengan sangat baik.
“Ryeowook.”
Aku tersadar dari lamunanku saat tangan yang kugenggam bergerak. Aku menoleh ke arah Jaci yang terbaring lemah.
“Kau bangun?” tanyaku dan dia mengangguk.
“Aku lelah tertidur. Aku ingin keluar. Aku ingin ke pantai.” Suaranya terdengar lemah.
Penyakit Leukimia itu bahkan nyaris menghabiskan suaranya. Itulah yang selama ini disembunyikannya dariku. Penyakitnya.
Dia tidak pernah bercerita tentang penyakitnya padaku. Yang lebih menyakitkan adalah aku harus mengetahuinya sendiri setelah dia jatuh pingsan saat kami menghabiskan waktu bersama dengan memasak di dapur kecil di apartemennya, aku sangat panik saat itu apalagi setelah itu aku dihadapkan pada kenyataan bahwa orang yang kucintai harus berjuang melawan sebuah penyakit mematikan. Aku tak akan tahu siapa yang akan menang nantinya.
“Hmm.” Aku hanya bergumam pelan lalu mengelus tangannya yang ditusuk jarum infus. Rambutnya sudah habis, tubuhnya makin kurus, pipinya kian tirus, tapi garis-garis kecantikan di wajahnya tetap tampak.
Aku tak bisa berkata banyak untuk menyenangkannya, aku tak bisa menjanjikan sesuatu padanya yang aku sendiri tidak tahu bisa aku tepati atau tidak.
Rasanya air mataku sudah ingin tumpah tapi berusaha aku tahan sekuat tenaga. Aku tak boleh menitikkan air mata di depannya. Dia membutuhkan seseorang yang bisa membantu memompa semangatnya untuk bisa tetap bertahan. Bukan seseorang yang akan meruntuhkan semua pertahanannya.
“Jangan sedih, aku akan segera sembuh dan menghabiskan seluruh waktuku denganmu. Kita akan berkencan di pantai. Kau mau kan?” bisiknya lirik, tangan kurusnya bergerak menyentuh pipiku dan mengelusnya.
Jaci adalah orang paling optimis yang pernah aku kenal, dengan semangat hidup yang tinggi dan kepribadian-kepribadian yang tidak kalah cantik lainnya. Mungkin itu sebabnya aku sangat mencintainya.
Aku tahu tak banyak harapan untuk Jaci bisa bertahan, tapi tak ada yang tahu rahasia Tuhan tentang ajal dan umur manusia. Aku hanya berharap bisa bersama dengannya lebih lama.
Jaci mengangkat kepalanya. “Bantu aku!” katanya. Aku langsung bangkit dari posisiku untuk membantunya. Dia duduk di tepi tempat tidur sembari menungguku yang sedang mengambil kursi roda untuknya.
Jaci suka menikmati pemandangan Seoul sore hari dari balik jendela kamar rumah sakit yang mengungkungnya selama berminggu-minggu. Pemandangan dari sana sebenarnya tidaklah indah, hanya gedung-gedung pencakar langit dan mobil yang berlalu-lalang di bawah, tapi itu semua tetap membuatnya tersenyum.
“Ryeowook,” panggilnya, aku hanya menoleh sebentar lalu kembali memandang jauh menembus kaca. “Kau percaya reinkarnasi?”
Aku mematung mendengar kalimatnya, mendadak langit kelam karena mendung menjadi sangat menarik perhatian.
Aku tak pernah suka jika Jaci mulai membahas masalah itu lagi jadi aku hanya terdiam. Aku tak ingin menjawab. “Ayolah, Ryeowook. Aku kan cuma bertanya.” rengeknya.
“Kamu tahu aku nggak percaya.” jawabku acuh tak acuh pada akhirnya.
“Aku juga tidak, tapi aku ingin berandai-andai.” ujarnya, meski dia tahu bahwa aku tidak suka membahas topik seperti ini dia tetap melanjutkan kalimatnya karena dia juga tahu bahwa aku tak mungkin tidak mendengar apa yang akan dia katakan. “Kalau aku meninggal—”
“Jaci, tolong. Jangan sebut kata itu.” Aku tidak tahan lagi, Aku tidak pernah bisa membayangkan jika Jaci meninggal.
“Semua orang kan pasti meninggal. Tinggal menunggu waktu saja.” Aku sangat sebal saat dia keras kepala seperti saat ini, dia terus melanjutkan. “Kalau aku meninggal dan bereinkarnasi aku pengen jadi burung, yang bisa terbang bebas ke mana pun dia ingin pergi. Tak ada melarang dan membatasi. Bisa bermain ke awan. Bebas, tak ada halangan.” Mata Jaci tampak menerawang, sebuah senyum tersungging di bibir pucatnya.
Air mata, jangan jatuh sekarang. Tolong!
***
Sebulan berlalu begitu cepat tapi aku bersyukur karena Jaci sudah jauh lebih baik. Aku tak ingin membayangkan jika penyakitnya kembali kambuh. Dia tak pernah ingin tinggal di rumah, setiap aku tidak ada kegiatan dengan Super Junior dia selalu mengajakku ke manapun dia mau pergi. Kami berjalan-jalan keliling kota dan banyak kegiatan lain tapi kami belum pernah ke pantai, seperti janjiku dulu. Aku takut dia kelelahan nantinya.
Hari ini aku menjemputnya karena dia ingin ikut pesta yang diadakan oleh orang tua Siwon Hyung. Sejujurnya, aku lebih suka jika dia tinggal saja di rumah tapi dia memaksa ikut dengan alasan tidak ingin kehilangan sebuah moment berharga.
“Berkumpul bersama semua member Super Junior adalah moment berharga. Aku tak ingin kehilangan moment itu.”
Jaci memang kenal dengan seluruh member Super Junior. Dia pernah hadir di konser kami, dan member yang lain juga kadang datang berkunjung saat Jaci berada di rumah sakit.
Dia mengenakan gaun berwarna merah selutut, kepalanya yang sudah kehabisan rambut ditutupi dengan wig berwarna cokelat sebahu. Agar tampak lebih cantik adalah alasan yang diutarakannya saat aku bertanya mengapa dia harus mengenakan sebuah wig. Aku pikir tak perlu, dia selalu tampak cantik kapanpun itu.
Kaki jenjangnya juga dihiasi dengan stiletto berwarna sama. Bibirnya dipulas dengan lipstik berwarna pink, meski begitu, aku masih bisa tahu bahwa dibalik warna itu, bibirnya sangat pucat.
Nada-nada pelan piano mendenting pelan, membuat suasana terasa nyaman. Aku melirik panggung kecil yang ada di bagian depan. Leeteuk Hyung sedang menunjukkan kemampuannya memainkan piano.
“Kau tidak apa-apa? Kalau kau sakit, kau bisa beristirahat di rumah. Aku bisa mengantarmu pulang sekarang.” kataku. Jaci menggeleng pelan, dia menggandeng tanganku lalu menyeretku turun ke lantai dansa. Dia melingkarkan tangannya di leherku, aku melingkarkan tangan di pinggangnya dan kami mulai bergerak pelan mengikuti alunan irama lagu yang pelan.
“Aku mencintaimu.” bisikku.
Dia mengangguk pelan sembari menyandarkan kepalanya di dadaku. Aku terdiam di tengah lantai dansa saat tangannya yang sedari tadi terus melingkari leherku perlahan melonggar sampai akhirnya lepas sama sekali.
Mimpi buruk itu lagi!
Jaci jatuh terkulai dipelukanku.
***
Kamar bernuansa hijau muda itu lagi, dengan wangi desinfektan yang menusuk hidung. Gadis yang sama yang terkulai lemah tidak berdaya di atas tempat tidur. Melihatnya, dadaku seperti tertusuk ribuan jarum. Berdenyut perih.
Tuhan, kenapa ini yang harus terjadi padaku saat aku menemukan seorang belahan jiwa. Orang yang aku cintai dengan sungguh-sungguh.
Sudah dua hari aku menunggui Jaci di sini sejak dia terjatuh dengan tiba-tiba di tengah dansa kami yang belum usai. Aku merasa lelah, tubuhku meronta meminta untuk diistirahatkan barang sebentar saja, tapi aku tak bisa beranjak sedikit pun. Bagaimana jika Jaci terbangun dan tidak ada orang sama sekali di dekatnya? Aku ingin menjadi yang pertama yang dilihatnya saat dia terbangun nanti.
Jadwalku berantakan, banyak show yang aku tidak hadiri, sekalipun aku hadir, aku tidak bisa bernyanyi dengan begitu baik. Untung saja Leeteuk Hyung dan member lain mengerti bagaimana posisiku saat ini dan mereka selalu mendukungku, selalu ada kapanpun aku butuh.
Kudengar pintu kamar membuka, aku tidak menoleh. Aku hanya memandangi wajah Jaci yang terlelap dengan wajah damai.
“Ryeowook, kau juga harus istirahat. Pulanglah!” suara itu milik sepupu Jaci, suaranya terdengar lemah. Dia pasti sama sedihnya denganku.
“Nanti saja, Nuna. Aku masih ingin lebih lama di sini.”
“Aku tahu kau tak ingin berpisah dengannya, tapi Jaci pasti juga tak ingin jika kau ikut sakit nantinya.”
Apa yang dikatakan Chi Sae Nuna mungkin ada benarnya. Pundakku disentuh pelan olehnya. “Pulanglah, Ryeowook. Kau pasti orang pertama yang akan kuhubungi jika dia terbangun nanti.”
Aku akhirnya memutuskan untuk pulang, dan terkejut mendapati Siwon Hyung di lobi rumah sakit. Dia langsung bangkit begitu melihatku.
“Hyung, apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku, dia tidak menjawab, hanya terus berjalan menuju pintu keluar. Sejak kapan Siwon Hyung ada di rumah sakit? Apakah dia sengaja menungguku?
“Masuklah!” Aku lepas dari lamunan yang sempat menyergap saat Siwon Hyung menyapa setelah memberhentikan mobil tepat di depanku.
“Ne,” Aku segera membuka pintu mobil dan duduk di jok depan. Sepanjang jalan aku hanya terdiam. Aku tiba-tiba teringat sebuah mitos yang mengenai seribu burung kertas yang bisa mengabulkan permintaan.
Aku punya permintaan. Hanya satu. Apakah itu bisa terkabul?
“Hyung, apakah kamu percaya tentang mitos burung kertas itu?” tanyaku memecah keheningan.
Siwon Hyung menoleh, dia terdiam sebentar sebelum akhirnya bersuara, “Mungkin. Tapi sesungguhnya keyakinanlah yang membuat semua itu menjadi nyata. Kekuatan hati. Burung kertas hanya sekedar objek. Orang-orang membuat sebuah permohonan dengan sungguh-sungguh sembari melipat kertas origami dengan keyakinan bahwa sesuatu itu akan menjadi nyata. Pada akhirnya, orang-orang menganggap bahwa burung kertaslah yang mengabulkan permohonan itu.”
“Umm, aku juga berpikiran begitu.” gumamku lalu kembali terdiam.
“Ryeowook, kau ingat kan kalau besok kita harus ke Thailand untuk Super Show?” Aku ingat tapi rasanya aku tak ingin mengingatnya, aku tak ingin meninggalkan Seoul saat ini. Bagaimana dengan Jaci? “Kami mengerti bagaimana posisimu saat ini, tapi Super Junior juga sangat membutuhkanmu. Hanya sehari. Semua pasti baik-baik saja. Jaci pasti baik-baik saja.” tambah Siwon Hyung, seolah bisa membaca apa yang ada di pikiranku.
Aku terus saja terdiam. Mungkin kali ini memang untuk Super Junior.
Jaci akan baik-baik saja. Pasti.
***
Aku mulai melipat kertas untuk membuat origami, setiap waktu luang, sesedikit apapun itu, aku gunakan untuk membuat burung kertas dengan satu permintaan agar Jaci bisa bertahan lebih lama, agar aku bisa bersama dengannya lebih lama. Hanya itu.
Saat ini kami baru saja sampai di dorm setelah kembali dari Thailand. Member yang lain sedang tertidur tapi aku masih sibuk dengan kertas-kertas origami dan permohonanku sendiri.
Burung kertas buatanku mulai menggunung.
Satu.
Sepuluh
Seratus
Dua ratus
Bel pintu dorm diketuk, karena tidak ada satupun orang yang terbangun saat ini, mau tidak mau aku harus bangkit untuk membuka pintu meski rasanya malas sekali. Kulihat siapa tamu yang datang itu di monitor yang ada di samping pintu. Mataku membelalak.
Jaci.
Kapan dia keluar dari rumah sakit? Mengapa aku tidak tahu? Mengapa dia tidak memberitahuku? Lalu bagaimana jika dia melihat burung-burung kertasku?
Aku batal membuka pintu, dengan segera aku kembali masuk ke ruang tengah untuk membereskan semua burung-burung kertas itu, aku memasukkan semuanya ke dalam kardus lalu mendorongnya masuk ke bawah meja.
“Tadaaa..” teriak Jaci begitu aku membuka pintu. Dia membawa keranjang piknik besar berwarna merah tua. Mata lebarnya seketika menyipit begitu melihat keadaanku yang begitu berantakan, dia mendelik ke arahku. “Ih, kenapa kau belum mandi?”
“Kapan kau keluar dari rumah sakit? Kenapa tidak menghubungiku?”
Bukannya menjawab, Jaci malah mendorongku masuk ke dalam dorm. “Rápido (cepat)! Hari ini kau harus berkencan denganku. Kita akan ke pantai.”
“Tapi—” bagaimana dengan burung kertasku?
Entah bagaimana, sebagaimanapun caranya aku ingin menolak aku tetap tidak bisa. Seperti sihir, aku menuruti keinginannya. Akupun masuk ke kamar mandi dan bersiap-siap.
***
Jaci memaksa ingin kencan di pantai. Aku berusaha menikmati kencan kami karena Jaci terlihat sangat bahagia padahal pikirannku ada di tempat lain. Kami bermain pasir dan berkejar-kejaran dengan ombak sepanjang hari.
“Aku senang sekali hari ini.” kata Jaci ceria, memecahkan lamunanku mengenai burung kertasku yang baru berjumlah dua ratus ekor. Jaci tidur di atas pasir putih dan menjadikan pahaku sebagai bantalnya. “Ryeowook, tidak usah selesaikan burung kertas itu lagi. Kau tidak perlu capek-capek membuatnya.”
Dia tahu? Aku tidak menyangka Jaci mengetahui kegiatanku yang keharusnya rahasia ini, terutama dari Jaci. Belum lepas keterkejutanku, Jaci bangkit dan meraih keranjang piknik berukuran jumbo yang dibawanya.
Ternyata isi keranjang itu bukanlah makanan seperti yang aku duga, melainkan burung kertas dalam jumlah yang sangat banyak. Jaci menumpahkan semua isinya ke pasir. “Burung kertas ini ada seribu ekor. Kubuat untukmu dengan satu permintaan, kalau aku sudah tidak ada nanti, kau bisa tetap bahagia. Kau janji kan kalau aku tidak ada, kau bisa bahagia?”
Aku tak tahu harus berkata apa. Jadi aku menarik Jaci agar kembali tidur di pangkuanku. “Kau janji kan?” Jaci bersikeras, dengan berat aku mengangguk meski tak yakin dengan janjiku sendiri. Jaci tersenyum cemerlang lalu mengecup bibirku lembut sebelum kembali membaringkan kepalanya di pangkuanku.
“Ryeowook, aku capek. Aku istirahat dulu, boleh kan?” ujar Jaci lirih. Pandanganku langsung mengabur.
Akan selalu ada perpisahan.
Jaci mengerjap-ngerjap lelah.
“Te amo (I love you), Ryeowook.” bisiknya terakhir kali sebelum benar-benar terlelap.
Selamanya.
Air mataku berhamburan. Kudekap Jaci erat.
“Buenas noches, Querida..(selamat tidur, Sayang). Saranghae.. ”
Angin berhembus kencang menerbangkan burung-burung kertas yang berserakan di atas pasir. Selembar kertas ikut melayang.
Aku hanya punya satu permintaan. Aku hanya ingin dia bahagia. Aku hanya berharap burung-burung itu membawa kebahagiaan untuknya.
-The End-