Selasa, 27 November 2012

[Keping satu] Sunflower Love

Diposting oleh sachakarina di Selasa, November 27, 2012



Bagian satu : Fototropisme


It is sad not to be loved, but it is much sadder not to be able to love







#1


"Aku tidak pernah tahu jika ternyata matahari itu dingin."


Aku bermimpi suatu hari nanti, paling tidak lima atau enam tahun dari sekarang, aku akan mengenakan gaun putih panjang, sepaket dengan tudung dan buket bunga yang indah. Min-Woo Oppa[1] akan menungguku dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya di depan altar. Ibu dan Bibi Lee—Ibu Oppa—akan menitikkan air mata karena akhirnya melihat kami menikah. Lalu aku dan Oppa akan hidup bahagia selamanya.

Impian-impian seperti itu sudah melekat sejak lama di kepalaku, semenjak otakku mulai dijejali dongeng putri-putrian dan mulai mengenal Min-Woo Oppa. Kami sudah bersama sejak kecil. Rumah kami bersebelahan. Orang tua kami sudah bersahabat sejak mereka masih muda, yang kini terobsesi menikahkan kedua anaknya di kelak hari.

Aku menyukai Oppa. Aku menyayanginya. Aku mencintainya. Dan demi apapun, aku selalu ingin bersamanya. Tapi dia, mungkin saja, tidak.
Kami beranjak dewasa, selain fisik, yang berubah dariku hanya rasa cintaku yang semakin besar, sedangkan Oppa? Entahlah. Aku tak bisa mengatakan ia sangat baik padaku karena kenyataanya ia begitu cuek juga bersikap dingin. Kami—dia—memiliki dunia yang berbeda.

Aku sangat menginginkan ia masuk ke dalam duniaku, kubuka pintu lebar-lebar namun sedikitpun ia tidak menoleh. Aku tak menyerah begitu saja, jadi aku mencoba ganti strategi. Akulah yang akan masuk ke dunianya tapi itu tak pernah berhasil, ia membangun tembok sangat tinggi dan kokoh yang tak bisa kutembus. Aku tak pernah berarti apa-apa baginya.

Tidak ada lagi Min-Woo Oppa yang selalu bersikap hangat. Ia bahkan pernah menghardikku karena merengek padanya, hal yang akan meluluhkannya dengan mudah ketika kami masih kecil dulu. Ia langsung meninggalkanku yang tiba-tiba berleleran airmata kala itu, karena terkejut dihardik olehnya, bukannya berusaha membujuk agar aku berhenti menangis. Ia jadi lebih menakutkan dari badai di musim dingin.

Sun-Mi, sahabatku, bilang aku belum tentu cocok jika bersama Min-Woo Oppa. Ia ingin aku mencoba berkencan dengan orang lain saja. Aku sudah tujuh belas tahun tapi belum pernah berkencan sekalipun, menurutnya itu sangat memalukan. Apalagi aku memiliki wajah yang masuk kategori lumayan; aku mewarisi mata lebar ibuku dan membuat teman-temanku iri karenanya.

Jadi kuterima tawaran Dong-Hyun, teman sekolahku untuk berkencan hari ini. Kami menonton film, lalu mengobrol mengenai kegiatan sekolah dan hobi masing-masing di sebuah coffe shop. Sore itu berjalan lancar, bahkan rasanya berlalu terlalu cepat hingga tidak tersadar bahwa matahari telah menghilang dan lampu-lampu jalan mulai menggantikan fungsinya. Dong-Hyun berbaik hati mengantarku pulang.

Jantungku berdetak tidak karuan, rasanya seperti akan melompat ke kaki ketika kulihat Min-Woo Oppa berdiri di teras rumahnya, mataku bertemu dengan miliknya yang hitam kelam tapi menatap datar. Tatapannya beralih sebentar, ke arah Dong-Hyun yang berdiri di sebelahku sebelum kembali lagi membalas tatapanku.

Kusunggingkan senyum manis yang kupikir akan bersambut. Nyatanya akulah yang berharap terlalu besar, karena Oppa memutar tubuhnya, melenggang masuk ke dalam rumah tanpa mengacuhkanku. Bibir tipisnya tidak melengkung ke atas seperti yang kuinginkan, malah sebaliknya, membentuk garis lurus yang tidak enak dipandang mata. Mataku. Perlakuannya membuatku sangat kecewa.

Kenapa Oppa tampak semarah itu? Ada hal salah yang aku lakukan?

Kulirik Dong-Hyun yang berdiri rapat di sebelahku. Semua orang bisa dengan mudah menebak bahwa Dong-Hyun menyukaiku. Caranya berdiri di sampingku, caranya menatapku, caranya berbicara denganku bisa menegaskan semuanya. Kadang-kadang itu semua membuatku agak risih.

Ada apa dengan Oppa? Pertanyaan itu terus melintas di kepalaku

“Aku sangat senang hari ini, Chae-Rin,” bisik Dong-Hyun.

Aku juga senang, kata sebentuk suara di kepalaku. Tapi sebelum pita suaraku menghasilkan sesuatu untuk memberitahukan Dong-Hyun mengenai hal itu, sesuatu yang lebih penting dan mendesak berkelebat di kepalaku.

Bagaimana jika Oppa marah karena melihatku bersama Dong-Hyun? Apakah ia begitu cemburu hingga buru-buru masuk ke dalam rumah? Rasa penasaran tadi perlahan berganti menjadi rasa bersalah. Tidak berselang lama aku menjadi sangat senang karenanya. Senyumku kian rekah.

“Aku akan menemuimu di kelasmu besok saat jam istirahat.” Kata-kata Dong-Hyun yang terdengar bahagia itu membuatku tersadar. Senyumku lenyap. Astaga, bagaimana jika Dong-Hyun mengira bahwa aku tersenyum untuknya? Aku kan tersenyum untuk Oppa!

“Emm…” Aku takut apa yang akan kukatakan pada Dong-Hyun akan membuatnya sakit hati, tapi aku sungguh tidak bisa mencoba sebuah hubungan yang lebih jauh dari ini bersama dengannya. Aku tidak ingin bersama dengan Dong-Hyun, aku ingin bersama Oppa! Hanya Min-Woo Oppa! “kau tidak perlu datang ke kelasku besok," tambahku.

“Kau yang akan menemuiku?” tanya Dong-Hyun penuh harap.

Aku menggeleng. “Kita tidak usah bertemu lagi. Aku… minta maaf,” desisku.

Dong-Hyun terpaku beberapa saat, raut wajahnya berubah kecewa tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Bagiku, inilah yang terbaik untuk kami. Tidak ada gunanya menjalani hubungan yang penuh pura-pura. Aku dan dia akan sama-sama terluka pada akhirnya jika kami memaksakan keadaan.

“Aku tahu, kau tidak perlu meminta maaf. Terima kasih untuk hari ini,” ujarnya setelah membisu beberapa menit. Ia mengangkat kepalanya yang tadi tertunduk, berbalik dan pergi tanpa menoleh lagi. Aku memandangi punggungnya, merasa sangat bersalah.

“Dong-Hyuna[2], mianhae[3],” teriakku. Dong-Hyun tetap tidak menoleh, ia hanya melambaikan tangannya ke udara.

***

Aku masuk ke dalam rumah sambil bersenandung riang setelah berdiri lama di depan pintu pagar, berharap bisa membuang rasa bersalah pada Dong-Hyun dengan memandangi jalan yang ditapakinya tadi.

Memikirkan bahwa Min-Woo Oppa cemburu padaku membuat hatiku berbunga-bunga. Itu berarti—ada sedikit harapan—dia memiliki perasaan yang sama denganku.

Setelah mandi dan berganti pakaian menggunakan piyama sutra kesayanganku, aku menelepon Sun-Mi, menceritakan segala hal yang terjadi seharian ini. Termasuk mengenai Min-Woo Oppa yang melihatku diantar pulang oleh Dong-Hyun.

Neo paboya[4]?” teriak Sun-Mi yang membuatku harus menjauhkan ponsel dari telingaku.

Mwo[5]?” teriakku tidak kalah keras.

“Kau mencampakkan Dong-Hyun hanya karena Min-Woo Oppa melihatmu? Apa kau menggunakan otakmu? Min-Woo Oppa belum tentu menyukaimu.”

“Min-Woo Oppa masuk ke dalam rumah sesaat setelah melihatku dengan Dong-Hyun. Dia tampak cemburu.” Aku tidak yakin Min-Woo Oppa benar-benar cemburu. Aku tidak bisa membaca ekspresi wajah Oppa dengan tepat, tapi Sun-Mi membuatku kesal jadi aku melebih-lebihkan sedikit saja. “Sudahlah. Kau membuat mood-ku berantakan. Kau memang tidak pernah setuju jika aku berpacaran dengan Min-Woo Oppa.”

Rasanya aku ingin menangis.

“Bukan begitu. Aku hanya tidak ingin melihatmu terluka.”

“Aku terluka jika tidak bersamanya.”

“Kau akan lebih terluka jika kau menghabiskan waktumu untuk memikirkan dan berharap kemudian kau mengetahui kenyataan bahwa cintamu bertepuk sebelah tangan.”

“Kau tidak mengerti dengan apa yang aku rasakan,” ujarku sendu. Sun-Mi menghela nafas panjang.

“Kalau begitu katakan padanya bahwa kau menyukainya!”

Suaraku serak. “Tidak, aku tidak bisa. Belum saatnya.”

“Lalu kapan, setelah semua terlambat?”

“Sudah kubilang, kau tidak mengerti!”

Pembicaraan itu berakhir begitu saja. Sun-Mi tidak mengerti bahwa aku takut untuk mengatakan apapun mengenai perasaanku pada Min-Woo Oppa. Aku takut perasaan itu tidak berbalas.

Aku takut pada kenyataan yang menanti.***

Bersambung...

Sach.


Ket:
[1] Kakak laki-laki oleh perempuan

[2] Partikel di belakang nama

[3] maaf

[4] Apa kau bodoh?

[5] Apa?

0 komentar:

 

Karina Sacharissa Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review