Saya
masih mengingat dengan jelas bagaimana kamu menyapa dan tersenyum dengan manis—menyembulkan lesung pipitmu—di depan saya. Melontarkan
kalimat lelucon, yang membuat saya bersemu lantaran malu, alih-alih menjabat
tangan saya untuk berkenalan dengan lebih formal.
Ketika
kamu memaku pandanganmu padaku, saya jadi semakin gugup dan malu. Saya mulai
mengkhawatirkan banyak hal dalam sekejap. Bagaimana penampilan saya saat itu?Apa
wajah saya kusam? Rambut saya berantakan? Tidakkah baju yang saya kenakan ini bagus?
Apakah saya menarik? Saya begitu butuh cermin yang tidak mungkin ada di sana
sekarang. Ketika saya beranikan mengangkat wajah, saya menangkap refleksi diri
sendiri di matamu yang gelap. Saya bertanya-tanya apa yang bisa saya lihat
dengan jelas di sana, dan pada akhirnya saya menyerah lalu memalingkan wajah
yang memanas. Keinginan untuk bercermin tadi hilang seketika, berganti
keinginan menggali tanah dan menghilang saat itu juga. Berusaha
membebaskan diri dari jerat tidak kasat mata yang membelit.
Saya
jatuh. Padamu. Secepat itu.
Sungguh
menakjubkan.
Mengantarkan
saya pulang ke rumah untuk pertama kalinya selalu berkesan.
Tengah
malam. Selepas hujan. Namun semua terasa benar. Bukan waktunya, tapi
kehadiranmu. Saya berharap kamu selalu berada di sebelahku. Selalu tertangkap
tatapan mataku karena jarak begitu menyiksa. Saya belajar dan menyesuaikan
dengan sangat cepat--yang membuatku kagum pada diriku sendiri--tentang
keberadaanmu di sampingku, namun rasanya begitu sulit menerima ketidakberadaanmu.
Saya
sadar, saya tidak lagi bernafas untuk diriku sendiri. Untuk kamu juga.
Hal
terbaik yang bisa saya bisa berikan pada diri saya sendiri. Segenggam cinta.
Yang hangat.
Sayangnya
tidak semua bisa berjalan seperti yang inginkan.
Ada
masa di mana saya mulai mencari-cari sisa kebahagiaan yang pernah ada, yang
mulai memudar tanpa bisa dicegah. Saya tidak menyalahkan kesedihan yang mulai
menguasai atau menyesali tiap airmata yang menitik. Saya sadar bahwa itu semua
bukanlah sebuah ketidakbenaran. Perpisahan yang tidak terelakkan itu mungkin
adalah hal paling benar yang pernah kita pilih.
Karena
benang penghubung di antara kita memang hanya sepanjang itu. Berujung di situ.***
Cha.
Makassar,
November 2012
22:21