Rumah tempat seluruh generasi bertumbuh |
Bagi
setiap orang rumahnya adalah istananya. Namun mungkin pengecualian untuk rumah
ini. Rumah yang hampir sebagian orang menganggapnya sebagai istana walau
mungkin hanya sejenak. Rumah itu jadi tempat seluruh generasi tumbuh besar.
Rumah yang penuh sejarah.
Rumah
itu tempatku tumbuh besar bersama sepupu-sepupu dan halamannya yang luas
mengajari kami banyak hal serta meninggalkan banyak sekali kenangan.
Seperti
tangga batunya yang kokoh. Tidak sedikit yang pernah jatuh dari sana. Seperti
Fera, salah seorang sepupuku yang terjatuh karena pakai heel kebesaran untuk
kakinya. Waktu itu kami akan pergi berbelanja dan batal karena Fera jatuh dan
menangis.
Tangganya jadi tempat mengobrol yang cukup nyaman |
Atau
pohon beberapa pohon rambutan yang dijadikan istana oleh kami bersepupu. Sepupu
tertua dianggap sebagai raja. Dan aku, yang waktu itu adalah yang termuda dan paling
takut ketinggian hanya bisa memanjat hingga dahan terendah (itu sudah cukup
membanggakan), menunggu dijulurkan rambutan ranum karena aku jelas tidak bisa
mengambil sendiri.
Ian
pernah jatuh dari pohon rambutan itu, anggap saja dia kualat karena melempariku
yang ada di dahan paling bawah dengan kulit jeruk. Ketika dia bergerak dan
menginjak ranting mati, keseimbangannya hilang, ditarik oleh gaya gravitasi dan
menghantam batu yang ada di tanah. Bibirnya sobek dan berdarah. “Kakak Ian
muntah darah,” teriak Syukran girang. Mungkin berpikir akhirnya dia bisa melihat
adegan muntah darah seperti di film-film laga China langsung di depan mata.
Sayangnya pohon itu sekarang sudah mati :(
Atau
lantai-lantai kayunya yang menjadi tempat sampah paling praktis kalau sedang
malas. Tinggal selip di antara papan, sampah sudah jatuh ke tanah. Lantai itu
akan menimbulkan derit setiap kita melangkah dan sampai sekarang aku sangat
senang berjalan dengan kaki dihentak-hentakkan untuk menghasilkan suara bising.
Di sebelah
rumah yang lain ada pohon manggis yang tumbuh sangat lebat. Sepertinya itu
adalah pohon manggis pertama yang ada di Bikeru. Di sebelahnya ada pohon sawo
yang selalu aku hindari saat sedang sakit. Buahnya yang masih muda memang obat
cukup mujarab namun rasanya yang pekat tidak pernah bisa aku nikmati sama
sekali.
Pohon manggis dan sawo manila |
Ada
pohon enau di pagar belakang rumah. Kami biasa menebang pelepahnya untuk
dijadikan kerangka ketika akan membuat rumah-rumahan dan daunnya kami ambil
untuk dianyam dijadikan alas duduk. Pernah sekali, kami menyelundupkan
daun-daun enau itu ke kamar belakang melalui jendela karena kalau ketahuan kami
jelas tidak diizinkan membawanya masuk. Lidi-lidinya juga berguna untuk
dijadikan sapu.
Tanaman
kembang sepatu ditanam di depan rumah, sebelah tangga batu. Warnanya putih
namun kian hari bunga warna pink jadi sering muncul dan sekarang perbandingan
antara warna putih dan pink nyaris sama banyak. Bisa belajar persilangan di
sana :D
satu tanaman. dua warna. menarik |
Terlalu
banyak kenangan yang terjadi di sana. Berendam diam-diam di kolam kamar mandi
yang kecil, tanpa sengaja meledakkan korek api di dapur, membuat jus yang tidak
jelas bentuknya (Rambutan, jeruk, timun dan segala jenis buat yang bisa kami
temukan dijadikan satu), meledakkan kompor hingga nyaris membakar seluruh dapur
(Sungguh, ini bukan aku. Aku masih terlalu kecil waktu itu dan hanya mendengar
cerita om dan tante :D), tempatku menghabiskan masa-masa remajaku dan yah,
mungkin juga tempatku jatuh cinta :)
Memang banyak hal yang terjadi di rumah itu. Tempat menangis, berkelahi, marah, berbagi rahasia, tertawa, saling diam dan berbagi. Jika, ada hari di mana waktu akan membuatnya menyerah untuk tetap berdiri, maka kenangannya akan selalu abadi.